Warnantara

Luthfi Zulkifli
3 min readJun 9, 2021

--

Condro Priyoaji Solo Exhibition

Sedikit bercerita

Ada tiga ingatan yang terlintas ketika saya harus mendeskripsikan seorang Condro Priyoaji. Dia tidak banyak bicara, serius, dan intens menghasilkan karya. Barangkali bisa dikatakan bahwa karya-karya Condro selama ini merupakan hasil eksternalisasi dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diamatinya. Bukankah itu hal yang cukup umum kalau kita bicara mengenai karya seni sebagai ekspresi personal si ‘seniman’ nya? Namun, jika dikatakan bahwa proses berkarya itu sendiri bagi Condro merupakan tindakan dengan totalitas dan intensitas yang melampaui persoalan ‘menghasilkan’ karya seni, hal itu menjadi persoalan menarik.

Sejauh saya mengenal Condro, berkarya bisa dikatakan adalah arena eksperimen nan eksploratif sekaligus menjadi katarsis bagi dirinya. Tentu saja hal tersebut bukanlah perkara baru, namun belakangan ini kebanyakan pelukis generasinya berkarya dengan perencanaan visual yang pasti, maka pendekatan karya Condro yang intuitif dan tegas menjadi sedikit berbeda dengan kecenderungan dominan tersebut.

Jika dikatakan Condro berkarya secara intuitif, tentu saja bukan berarti dia tidak memiliki gagasan, tema, dan rencana. Tetapi dia tidak menentukan secara akurat sejak awal bangunan visual karya-karyanya. Kendati intuitif dan mengalir dalam menyusun aspek visual karya-karyanya, Condro selalu memiliki suatu gagasan atau tema yang menjadi pegangannya. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa aspek konten (hal yang direpresentasikan) dan ekspresi (spontanitas, karakter, dan kualitas artistik) menjadi hal yang sama pentingnya dalam kekaryaan Condro.

Berkesenian bagi Condro lebih berkaitan dengan dirinya sendiri dan pengalaman personalnya yang intim. Berkarya, terutama menjadi sebuah cara bagi Condro untuk memahami dirinya sendiri. Hal tersebut membuat karya-karya Condro kebanyakan cenderung esoteris walaupun dikemas dengan visual yang sederhana. Kalaupun ada persoalan di luar dirinya, maka itu selalu berkaitan dengan pengalaman dan juga cara pandangnya. Oleh karena itu, karya-karya Condro bukanlah jawaban, bukan juga solusi, namun kerap sebuah pertanyaan, tentunya juga menjelma menjadi pernyataan.

Tentang Pameran

Pameran Warnantara berangkat dari eksperimen dan eksplorasi pada wilayah (1) eksistensi warna dan pengaruhnya terhadap tanggapan manusia, baik secara optis maupun psikologis serta (2) batasan seni lukis khususnya pada bagaimana cara lukisan dipresentasikan dalam ruang pamer. Kedua poin tersebut terlihat jelas ketika kita memasuki ruang pamer yang bertempat di Studio Batur, Bandung.

Kata warnantara mempunyai arti warna antara atau dapat diartikan warna yang hadir akibat pertemuan antara dua buah entitas. Berdasarkan hal tersebut, dalam pameran ini Condro mencoba meleburkan kualitas artistiknya dan makna multi interpretasi dari karya Condro dengan bahasa warna dan ruang sehingga sehingga membuka peluang bagi pemirsa untuk menjadi bagian dalam karya Condro, tentunya dengan menjadi pelancong estetik atau bahkan menjadi warna itu sendiri.

Secara keseluruhan pameran ini dibagi menjadi dua ruangan. Pada ruangan pertama Condro mencoba menangkap atau bahkan membuat ulang bayangan yang dihasilkan oleh benda yang terdapat di ruangan tersebut. Condro melihat bayangan bukan hanya sekedar efek fisik yang disebabkan oleh pertemuan cahaya dengan objek saja. Condro melihat bayangan sebagai warna yang eksis dan ‘tersembunyi’, mewujud menjadi warna yang lebih gelap dibanding warna sekitarnya bukan hanya sebagai jejak dari sebuah benda.

Sedikit berbeda dengan ruangan pertama, pada ruangan kedua Condro kembali menghadirkan karya warna artifisial pink fluorescent nya, warna yang asing dalam keseharian kita. Keterasingan warna tersebut Condro hadirkan di seluruh sisi ruangan, sehingga warna melingkupi kehadiran tubuh penonton.

Didorong keinginan untuk melibatkan lebih jauh penonton, karya-karya Condro pada pameran ini dengan sengaja tidak diberi sebuah penanda khusus. Pengalaman bingung, asing, atau bahkan mengganggu mewujud menjadi pengalaman unik pada pameran ini. Pengalaman tersebut seolah menjadi ajakan bagi penonton untuk masuk lebih jauh memahami dan berbagi pendapat perihal eksplorasi terhadap warna yang ia lakukan.

Awal Perjalanan

Karya-karya Condro yang dihadirkan dalam pameran ini tumbuh menjadi wujud yang meruang, yang meliputi dirinya, si penonton: mereka berhenti sebagai objek, dan mekar menjadi sesuatu dengan integritas sepenuhnya lewat bahasa warna, yang sesungguhnya adalah hal yang paling mendasar dari keilmuan seni lukis sendiri.

Bagi seniman asal Jember ini, pameran bertajuk Warnantara hendak melampaui sejarah pribadinya. Bila pameran ini sebuah pernyataan kesenimanan, maka bisa dikatakan bahwa pameran Warnantara menjadi tonggak awal perjalanan yang lebih jauh dari seorang Condro di dalam medan seni rupa. Hal itu juga menandai sikap sang seniman yang lebih dewasa dan optimis dalam menghadapi masa depan.

  1. Kata warnantara diambil dari Senarai, suplemen dalam buku “Pengantar Seni Rupa”, karangan Sudjoko, terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 2001.

--

--