Seni Video : sebuah risalah seni dan teknlogi.

Luthfi Zulkifli
5 min readApr 27, 2019

--

Perkembangan seni rupa modern yang diawali dengan penemuan teknologi fotografi pada pertengahan abad 19 yang lalu telah mempengaruhi cara pandang dalam berkesenian di seluruh dunia khususnya dalam bidang seni rupa dan desain, selain muncul beragam aliran baru dalam seni lukis, muncul pula berbagai gerakan dan pendidikan seni dan desain dengan metode baru yang lebih konstruktif. Demikian pula berpengaruh terhadap aspek pemanfaatan teknologi dalam seni. Hal ini ditandai dengan kemunculan satu cabang baru dalam dunia kesenian yaitu seni video pada kisaran tahun 60an.

Seni Rupa Video atau Video Art di Eropa dan Amerika telah berkembang sejak awal dasawarsa 60-an. Beberapa perintisnya adalah Nam June Paik, Wolf Vostell, Bruce Nauman, Vito Acconci, dan masih banyak lagi. Berkembang pesatnya seni video dalam khazanah seni rupa modern di Ero-Amerika bukanlah hal yang luar biasa, sebab perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesat sehingga sangat memungkinkan masyarakat seni bersentuhan langsung dengan berbagai produk-produk teknologi modern dalam kehidupannya sehari-hari.

Untuk membaca karya-karya seni video, bukanlah hal yang mudah, apalagi kalau dibanding dengan membaca karya-karya yang dibahasakan melalui bahasa grafis/gambar dan warna yang tetap dan diam seperti karya lukis maupun karya grafis. Kesukaran kedua dijumpai ketika seni video yang dimasukinya adalah salah satu rangkaian ide yang sifatnya “eksperimental‟ dan tidak senaratif sajian televisi khususnya iklan. Seni Rupa video hanya sekedar fenomena gambar visual, dan teknologi video dapat memediasinya secara optimal.

Kawin silang seni dan teknologi?

Filsuf kenamaan Jerman, Nietzsche pernah mengatakan

Apapun yang ada, bagaimanapun mengada, adalah selalu ditafsirkan untuk tujuan-tujuan baru, diambil alih, ditransformasikan dan diarahkan kembali oleh beberapa kekuatan yang lebih unggul darinya; semua peristiwa dalam dunia organis adalah tuan yang menundukkan, menjadi dan semua tuan yang menundukkan dan menjadi melibatkan sebuah penafsiran yang baru, sebuah adaptasi melalui makna sebelumnya dan bertujuan dengan sendirinya dikaburkan atau bahkan dihapuskan….”

Kalimat tersebut cukup menggambarkan fenomena teknologi telah menyelinap ke dalam seni dengan berbagai cara, secara tegas maupun diam-diam, sehingga kemajuannya sulit untuk kita ikuti. Sampai saat ini kita belum memiliki sebuah metode yang ampuh untuk menaklukkan gejala tersebut. Biasanya kita menghubungkan teknologi dengan hal-hal yang kering, rasionil, dan cenderung tidak manusiawi, bertentangan dengan komedi atau kegembiraan dan hampir tidak pernah dengan misteri.

Lewis Mumford di tahun 1951 dalam art and technics (Seni dan Teknik), berkata bahwa “teknologi” adalah abdi ilmu pengetahuan, yakni penerapan teori ilmiah terhadap persoalan-persoalan praktis. Tingkat yang paling sederhana bagi seorang seniman penerapan kata teknologi dapat berarti suatu medium baru, seperti cat epoxy, atau suatu eksperimen yang baru. Pada tingkat yang lebih tinggi, maka “teknologi” seperti yang dikemukakan oleh Donald Schon di dalam Technology and Change (teknologi dan perubahan), dapat berarti setiap alat atau teknik, setiap produk atau proses, setiap peralatan fisik atau cara untuk melaksanakan atau membuat dengan mana kemampuan manusia diperluas. Hal ini berarti bahwa teknologi adalah cara manusia bekerja, yang merupakan bagian dari dirinya sendiri, seperti halnya dengan otaknya atau tangannya. Dengan demikian maka Marshall Mc Luhan dapat dibenarkan bila ia mengatakan bahwa teknologi sebagai sambungan dari susunan syaraf pusat.

Para seniman sejak dulu ini telah mempergunakan peralatan dan pengetahuan yang baru, walupun tidak secepat di era kontemporer ini. Kaum futuris dan konstruktivis secara sadar telah menentukan pula untuk menciptakan karya seni dari bahan-bahan yang terdapat disekeliling mereka.

Dari pemikiran tersebutlah sehingga seorang seniman kontemporer seperti Larry Rivers mengatakan “bahwa membuat patung dari lampu pijar sama mulianya dengan membuatnya dari marmer, Michaelangelo melihat terdapatnya marmer disekitarnya dan ia mempergunakannya, kata Rivers, saya mempergunakan aliran listrik, dimanakah perbedaannya?”

Perbedaannya adalah kemajuan dari teknologi. Dewasa ini kita hidup dalam dunia dengan bahan-bahan sintetis yang murah, yang mudah diubah bentuknya dan yang sangat menarik bagi seniman; ia dapat langsung bekerja dengan bahan-bahan ini dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.

Menjelang akhir abad 20, yaitu sekitar 1965-sampai saat ini atau diistilahkan (Beyond the Avant-Gardes), tercatat demikian banyak gerakan baru yang lahir, diantaranya adalah Minimalism, Conceptual Art, Body Art, Installation, Video Art, Earth Art, Postmodernism, High Tech, Transavanguardia, Sound Art, Internet Art, dll. Berbagai gerakan seni rupa inipun muncul tidak lepas dari kondisi realitas yang ada dimasyarakat seperti perkembangan teknologi modern yang demikian cepat, sehingga kolaborasi antara manusia, alam, dan teknologi sebagai satu karya seni tak dapat dihindari. Pada masa ini para seniman tidak terbatasi lagi oleh media tertentu seperti cat dan kanvas dalam melukis, bahkan seniman dapat melukis lebih cepat dengan menggunakan media komputer.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Seperti yang sudah dibahas di atas kehadiran teknologi modern merupakan realitas yang tak terbantahkan ditengah-tengah kehidupan kita. Hal tersebut juga hadir di tengah realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Maraknya pemakai internet, komputer, handphone, multi player game, handy came, serta cameracamera digital, merupakan indikasi kuatnya persinggungan teknologi dengan berbagai dimensi kehidupan masyarakat dalam negara kita, termasuk proses kreasi dalam berkarya seni.

Di tengah-tengah gelombang percepatan ilmu dan teknologi tersebut, maka terbuka pula ruang kebebasan seniman untuk berekspresi secara total, para seniman tidak terbatasi lagi oleh ruang, waktu, media, dan konsep. Fenomena tersebut merupakan refleksi dari kondisi zaman yang penuh dengan problem-problem sosial dan kultural.

Video Art di Indonesia masih merupakan fenomena yang mencul baru tahun 1990 — an, tidak seperti di Ero-Amerika yang telah mengembangkannya sejak tahun 1960 — an yang lalu. Namun demikian, bukan berarti kita tidak dapat mengikuti perkembangan berkarya dibidang ini, sebab kecenderungan dan gejala untuk menggeluti secara konsisten berkarya seni video — pun telah diperlihatkan oleh beberapa seniman kita.

Video Art merupakan salah satu kecenderungan gaya yang semakin menampakkan konsistensi dan independensinya ditengah-tengah pergulatan wacana seni rupa modern indonesia. Walaupun belum semaju di barat, namun geliat-geliat kreatifitas perupa muda seperti Krisna Murti merupakan salah satu bukti akan antusiasme masyarakat seni rupa kita dalam merespon setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi melalui proses kreasi yang baru dan kreatif.

Pendekatan visual yang dilakukan Krisna Murti dititik beratkan pada pengalamannya sebagai pelukis. Keinginan untuk merangsang, menggelitik bahkan memprovokasi pikiran penonton juga muncul dalam penyajian seni video. sebagai multi media instalasi. Penonton dikelilingi gambar yang menyerbu dari layar besar serta monitor-monitor kecil. Dia melihat fungsi seni dan arti penting seniman bagi masyarakat dengan tetap kritis.

Sewaktu-waktu seniman bisa berperan sebagai agitator, mediator, fasilitator atau provokator. Ketika seniman bertindak sebagai kreator, kordinator atau koreografer, karya seni dimungkinkan menjadi jalan satu arah. Sifat interaktif dan komunikatifnya akan dibatasi. Hal ini jugalah yang menjadi pembeda seni video yang berkembang di Indonesia dengan Euro — Amerika.

--

--