Memaksimalkan Potensi Sastra Indonesia

Luthfi Zulkifli
4 min readNov 8, 2018

--

Kultur adalah cara berkehidupan suatu kelompok manusia yang diturunkan dari generasi ke generasi. Secara tidak langsung, kultur meregulasi pola kehidupan manusia. Kultur terbentuk dari elemen-elemen kompleks seperti politik, agama, bahasa, seni, dll.

Kekompleksitas ini juga menghasilkan sastra. Penjelasan lainnya mengenai karya sastra adalah, sastra tidak pernah tercipta karena kekosongan. Sastra selalu memiliki latar belakang untuk berada disana. Hasil pengolahan peristiwa di balik penciptaan karya sastra adalah cerita atau peristiwa di masyarakat. Inilah alasan mengapa karya sastra tidak pernah hadir dari ketiadaan.

Hubungan erat antara sastra dan budaya pada akhirnya dapat menghasilkan karya sastra yang memiliki fungsi sebagai pemelihara budaya. Budaya yang kompleks dapat tercermin dalam karya sastra.

Banyaknya karya-karya literatur dari barat yang bertebaran di dunia sastra menjadikan masyarakat Indonesia kehilangan rasa apresiasi terhadap karya masyarakatnya sendiri.

Penyair Indonesia terkenal, Sutardji Calzoum Bachri, pada konferensi pers Hari Puisi Indonesia 2017 di Pusat Dokumentasi Sastra di area Taman Ismail Marzuki, mengatakan jika negara yang tidak menghargai sastra negaranya sendiri pasti negara itu adalah bar-bar. Pun, H.B. Jassin, pernah mengatakan bahwa koran yang tidak mempunyai kolom sastra itu adalah bar-bar atau bahkan biadab.

Orang-orang menyadari bahwa menurunnya jumlah buta huruf di Indonesia tidak dengan sendirinya menjadi suatu kondisi semakin banyak orang untuk membaca buku-buku sastra.

Publikasi buku-buku sastra tidak melambung. Toko buku tidak semakin dibanjiri dengan buku-buku sastra. Sejak di SMA, guru kita mengajarkan bahwa “kesusastraan” adalah subjek “susastra”, yang berasal dari kombinasi “su” dalam bahasa yang berarti baik / indah dan “sastra” yang berarti tulisan.

Sangat sedikit orang yang ingin mengenali gagasan “sastra” dalam jangkauan yang lebih luas. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat lisan, tetapi juga masyarakat yang mungkin tidak mengubah dirinya menjadi masyarakat yang membaca atau menulis seperti Barat.

Perubahan zaman dan budaya manusia juga pun ikut berubah. Meskipun sastra telah ditafsirkan sebagai tulisan, kebanyakan ahli sastra pada waktu itu berbagi karya sastra bersama.

Setidaknya di Inggris, ada saat-saat ketika orang membaca sastra dan semua anggota keluarga mendengarkan pembacaan tersebut. Di Jawa, sastra yang ditulis oleh para abdi dalem dikembangkan untuk para anggota kerajaan (belakangan juga menyebar ke anggota masyarakat yang lebih rendah) dan dilakukan oleh teater.

Sejak awal pertumbuhannya, sastra belum berkembang di kalangan masyarakat Indonesia yang lebih luas. Namun dibandingkan setengah abad yang lalu, keterpencilan sastra saat ini bahkan lebih memilukan.

Meskipun semakin banyak anggota masyarakat Indonesia yang dididik untuk membaca dan menulis, masyarakat kita telah diserang oleh komunikasi massa elektronik radio-oral. Dengan demikian, sastra dalam arti sempit (tertulis) dikecualikan dari komunitas masyarakat yang buta huruf dan melek huruf.

Sastra Indonesia mungkin tidak terisolasi dalam masyarakatnya jika masyarakat dapat mengakui dan menghargai lirik Ebiet, Bimbo, balada Frankie & Jane, atau Wayang Orang sebagai literatur tentang kaset, juga esai Mahbub Junaidi, MAW Brouwer, atau Bung Karno pidato.

Kemunculan penulis kontemporer Indonesia

Rain Chudori-Soerjoatmodjo adalah seorang penulis, kurator, dan aktris Indonesia. Putri dari penulis Leila Chudori dan kurator Yudhi Soerjoatmodjo, serta cucu dari jurnalis Muhammad Chudori, darah penulis telah mengalir di dalam keluarganya. Kecintaannya pada sastra dimulai dari rumah.

Di bawah Penerbit KPG, Rain dan rekannya, Aditya Putra, mendirikan Comma Books. Hujan sebagai kurator dan Aditya sebagai direktur seni. Mereka memikirkan gagasan menjadikannya sebuah divisi bagi para penulis yang muncul dan memunculkan ide itu kepada kepala KPG, Pax Benedanto dan Christin Udiani.

Ide mereka adalah membagi proses mereka per musim, sehingga mereka dapat memiliki gagasan yang jelas tentang arah mereka dan merencanakan buku mana yang akan mereka terbitkan. Karena sebagian besar penulis, seniman, dan profesional yang bekerja dengan Comma Books adalah kreator muda, target reader mereka berfokus pada pembaca muda.

Comma Books adalah divisi penerbitan dinaungi Penerbit KPG juga adalah divisi pertama dan satu-satunya penerbit utama di Indonesia yang hanya berfokus pada emerging writers.

Mereka memahami bahwa bahasa, tema, dan posisi penulis yang muncul adalah hal yang khusus, dan pekerjaan mereka adalah menerjemahkan karya mereka melalui desain dan karya seni, dan juga membawa mereka melalui proses industri sastra.

Itu sebabnya desain koleksi mereka sangat unik dengan desain kebanyakan yang sangat konvensional. Dikurasi dengan baik, tetapi juga dengan gaya tersendiri yang dapat diidentifikasi sebagai Comma Books.

Rain juga mengatakan kepada saya bahwa editor seniornya, Christin Udiani, selalu memberitahu tim bahwa penerbitan tidak hanya tentang mengurus buku tetapi juga tentang mengurus para penulis.

Kita semua tahu bahwa kesadaran untuk membaca buku masih sangat rendah. Seperti yang dikatakan Rain, bangsa ini harus membaca lebih banyak, karena ini adalah sumber pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman. Nmaun tetapi sulit karena sistem pendidikan yang berbeda, kurangnya akses, dan kesenjangan dalam hak istimewa.

Bekerja di pusat industri penerbitan menurut Comma Books bahwa meskipun itu adalah industri yang sudah ada dengan sistem bisnis dan pemasaran yang ada, mereka juga harus sadar tentang bagaiman cara mempresentasikan buku mereka, bagaimana menempatkan buku-buku mereka di pasar, dan kekurangan dalam sistem pendidikan yang semoga, Comma Books dapat membantu memperbaikinya.

Banyak metode dilakukan oleh rumah-rumah publikasi untuk memperkenalkan dunia sastra kepada publik.

Metode yang digunakan oleh Comma Books lebih bersifat holistik, dan intim karena kegiatannya terlibat secara satu arah antara pembaca dan penulis di tempat yang sama, seperti lokakarya, membaca sastra bersama, pertemuan intim, acara dengan pameran / drama / film, kolaborasi dengan seniman dan sebagainya.

Mereka memperkenalkan dunia sastra dengan cara yang menyenangkan dan secara tidak langsung mengundang penonton untuk berpartisipasi dalam kegiatan. Dengan kata lain, ada kilasan cahaya di dunia sastra Indonesia.

Orang-orang seperti Rain adalah alasannya, mengapa kita harus menghargai sastra Indonesia. Namun demikian, sastra telah dikenal berfungsi sebagai pelunak hati serta mempunyai kontribusi spiritual untuk kehidupan batin dan jiwa manusia.

--

--