Kriya Keramik Posisi dan Riwayatnya Kini

Luthfi Zulkifli
4 min readNov 8, 2018

--

Kita tentu tidak asing dengan salah satu potongan adegan di film The Ghost (1990) ketika Patrick Swayze memeluk Demi Moore yang sedang membuat sebuah gerabah. Molly yang diperankan oleh Demi Moore di film itu berprofesi sebagai seorang pengerajin kriya keramik. Profesi Molly sebagai seorang pengerajin kriya sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi kebudayaan di Indonesia.

Kriya sebagai salah satu bagian dari budaya Indonesia, telah memiliki catatan sejarah yang cukup panjang pula dan bahkan mampu berkontribusi bagi konstruksi jati diri dan kearifan lokal ke-Indonesia-an melalui artefak-artefak yang dihasilkan. Dan hampir diseluruh Indonesia juga ditemui sentra-sentra kerajinan keramik. Produk-produk yang dihasilkan sentra-sentra tersebut sangat beragam mulai batu bata, genting, pot-pot, gerabah tradisional untuk keperluan rumah tangga, keramik untuk bangunan, dan alat makan minum.

Kriya dimaknai sebagai karya seni yang unik dan karakteristik di dalamnya mengandung muatan nilai estetik, simbolik, filosofis, dan fungsional dalam pembuatannya. Salah satu jenis kriya yang cukup mendunia dan sesuai dengan adegan film di atas adalah kriya keramik.

Perkembangan Kriya Keramik

Kriya keramik saat ini perkembangannya cukup pesat, baik dilihat dari produk/karya, material, jumlah perajin/seniman keramik, atau dari wacana tentang kriya. Produk yang berkembang sangat beragam yang dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, keramik yang perwujudannya untuk sesuatu yang difungsikan, dimasyarakat sering disebut dengan istilah dengan keramik pakai/keramik fungsi (craft as business). Kedua, keramik yang perwujudannya sebagai media ekpresi pribadi, dimasyarakat sering disebut dengan istilah dengan keramik seni, keramik personal, (fine art ceramic atau craft as art).

Kalau dilihat dari perkembangan bahan yang dipakai juga mengalami perkembangan yang beragam dan variatif. Bahan yang dipakai oleh pembuat keramik bukan saja dari bahan dasar keramik (tanah liat dan glasir), tetapi sudah mengkombinasikan dengan bahan-bahan pendukung lainnya seperti cat, pasir, kayu, besi, rotan, dsb.

Pemakaian bahan-bahan ini terutama dilakukan pada proses finishing. Pemakaian bahan tambahan yang berlebihan sering berakibat visualisasi karakter keramik menjadi tidak jelas bahkan hilang. Tentu saja kebanyakan orang tidak sependapat jika hal ini disebut sebagai penyimpangan. Kalau ditelusuri banyak faktor yang melatarbelakangi seperti tuntutan konsumen, kreatifitas seniman, dan sebagainya.

Selain perkembangan diatas perdebatan wacana kriya juga menarik untuk disimak. Belakangan ini di Indonesia berkembang wacana kriya kontemporer (contemporary craft), merupakan imbas dari wacana kontemporer yang berkembang di dunia Barat. Munculnya wacana ini bukan dari kriya tradisi yang ada, tetapi berasal dari tradisi akademik yang secara tegas memisahkan seni murni dan kriya. Tentu saja istilah ini masih menyisakan kontroversi karena didalamnya mengandung paradoks.

Di satu sisi kriya menempatkan diri bersebrangan dengan seni murni (art), namun disisi lain sebutan kontemporer mengacu pada seni masa kini (modern art). Namun dapat diduga bahwa penggunaan istilah “kontemporer” dimaksudkan untuk membedakan diri dengan praktek kriya tradisi. Kriya tradisi lebih merupakan ekspresi komunal, sebaliknya kriya kontemporer adalah ungkapan ekspresi individu. Salah satu dampak dari wacana kontemporer dalam dunia kriya adalah munculnya istilah designer-maker dalam ranah ke profesian.

Munculnya istilah designer-maker adalah desainer sekaligus perajin yang secara langsung terlibat dalam proses produksi. Hal ini merupakan fenomena terbaru yang sedang marak kembali semenjak tahun 2005. Pada saat itu para desainer ataupun kriyawan keramik berani membuka studio mandiri sekaligus memiliki label dagang mereka sendiri. Pola industri berbasis studio juga berhasil menjadi alternatif di luar posisi pola industri bebasis sentra pengerajin dan industri.

Setiap sektor memiliki target pasarnya masing-masing. Sentra gerabah atau keramik berfokus pada pasar yang sudah terbentuk dan rutin melakukan transaksi perdagangan dengan daerahnya, seperti Sentra gerabah di daerah Plered. Pola Industri berbasis studio yang biasanya dikelola secara independen, memiliki fleksibilitas dalam bekerja dan membuka pasar mereka sendiri melalui proyek.

Di samping produk retail yang secara konstan diproduksi, sebagai contoh Studio keramik Kandura. Sedangkan pola industri biasanya sudah dalam tahapan mapan dengan pasar yang cukup stabil. Pola industri lebih menfokuskan diri pada pengembangan desain yang lebih liberal dan tidak terlalu terikat pada kemauan pasar, sehingga pengembangan di bidang riset, baik desain maupun bahan baku keramiknya mampu berjalan lebih baik. Sebagai contoh Jenggala keramik Bali.

Kesimpulan

Penjelasan di atas memberikan gambaran umum kondisi kriya keramik di Indonesia saat ini yang terbagi menjadi tiga sektor, yaitu sektor sentra, sektor studio mandiri, dan sektor Industri. Masing — masing sektor tentunya mempunyai nilai positif dan negatif. Perajin masih membutuhkan dorongan yang sangat besar untuk memajukan usahanya dan mencari identitasnya agar apa yang mereka hasilkan mampu diingat sebagai ciri khas di mata konsumen. Untuk itu peran dari akademisi sangat dibutuhkan untuk membina wacana dan menggali persoalan identitas di industri keramik.

Industri pun perlu disadarkan bahwa sumber daya manusia di Indonesia yang sangat berlimpah merupakan potensi yang sangat besar dalam industri kriya keramik. Banyak proses dalam produksi yang hanya mampu dicapai dengan pengerjaan tangan manusia dan hal ini justru yang dicari oleh konsumen saat ini. Dengan penjelasan tersebut diharapkan dapat membuka wawasan baru tentang potensi-potensi yang dapat dicapai dari sebuah karya ataupun produk kriya keramik.

Industri yang berbasis kriya seperti kriya keramik, satu per satu kini telah terlihat muncul dan meramaikan kembali produk-produk berbasis budaya bangsa. Dari sudut pandang ekonomi, fenomena ini dapat disikapi sebagai respon yang positif, mengingat keragaman usaha membuka peluang baru bagi investasi di bidang kriya yang dianggap mampu memberikan jawaban kepada masyarakat, tidak hanya di Indonesia namun juga masyarakat global, akan pencarian identitas masa lalu dengan kemasan masa kini.

Peran studio mandiri pun tidak kalah besarnya, walaupun masih dalam skala kecil. Desain yang mereka hasilkan mayoritas ialah hasil pemikiran yang out of the box dan tidak terbatas pada tekanan pasar. Karya atau produk kriya keramik yang mereka buat sering kali berupa hasil dari hal-hal kecil yang justru mampu menjadi nilai jual. Keberanian mendobrak pasar ini lah yang menyadarkan bahwa kriya keramik masih memiliki banyak hal yang bisa dieksplor.

--

--